Sabtu, 04 Februari 2012

Langkah -Langkah dan Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat

Langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat antara lain :

1. Persiapan
a. Menyusun desain rancangan pembentukan motivator pemberdayaan masyarakat berbasis partisipatif dan instumen evaluasi.
b. Mencari data dan fakta awal tentang kondisi masyarakat.
c. Persamaan persepsi dengan instansi terkait, fasilitator, dan pendamping

2. Pelaksanaan
a. Ice breaker, bina suasana, membangun komitmen dan kesadaran.
b. Membuat kontrak belajar.
c. Simulasi Teknik-teknik PRA (membuat peta sosial, yang memuat peta potensi dan peta masalah; pengorganisasian masalah dan potensi; relasi serta aktivitas masyarakat).
d. Simulasi teknik-teknik Participatory Assessment Planning (identifikasi masalah sosial; identifikasi lingkungan internal dan eksternal; klasifikasi kelemahan, kekuatan, peluang; Menentukan Prioritas Masalah; Menentukan hubungan sebab akibat; analisis kontingensianalisis internal eksternal; dan penentuan program jangka pendek, menengah dan panjang); serta pembuatan pola jaringan/ kemitraan.
e. Action Plan Matrix (nama program, tujuan, sasaran, tahapan kegiatan, jadual, sumber dana & pendanaan, indikator keberhasilan).
f. Simulasi studi banding.
g. Seminar.

3. Penyusunan Laporan.
a. Penyusunan laporan dilakukan sebagai upaya untuk bahan evaluasi bagi perbaikan dimasa mendatang.
b. Laporan juga merupakan media yang sangat efektif bagi upaya pemasaran sosial tentang keberadaan proses pemberdayaan masyarakat.

4. Seminar hasil analisis.

5. Pendampingan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

Sedangkan indikator keberhasilan dari proses pemberdayaan masyarakat yaitu :

a. Terbentuknya para motivator yang memahami, mempunyai afeksi, dan terampil dalam pemberdayaan masyarakat lokal.

b. Tertransformasinya kesadaran, komitmen, kemauan, pengetahuan, keterampilan dan afeksi motivator terhadap para pejabat di lingkungan pemerintahan kecamatan/ dan desa/ dan kelurahan maupun para tokoh pembangunan masyarakat sekitar.

c. Tergerakkan/ termobilisasinya komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat luas sesuai dengan data, fakta lapangan dan analisis kebutuhan lokal di lapangan.

Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Partisipasi

Berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah secara mendasar belum dapat menjawab segala permasalahan yang dialami masyarakat. Kesemua permasalahan tersebut dapat disebabkan diantaranya oleh sistem pelibatan/partisipasi/keikutsertaan masyarakat, mulai dari tahap perencanaan sampai pada evaluasi, yang kurang aspiratif. Akibatnya muncul partisipasi yang bukan berdasarkan kehendak masyarakat, tapi partisipasi yang dipaksakan atau partisipasi karena dimobilisasi (mobilize partisipation). Proses pelaksanaan pembangunan yang demikian itu akan memunculkan pengaruh yang signifikan terhadap hasil yang dicapai. Selain itu kurangnya rasa memiliki dikalangan masyarakat terhadap
program yang dilaksanakan berakibat pada ancaman ketidakberlanjutan program (unsustainability), dan mudah sekali dilupakan dan ditinggalkan (hit and run).
Pembangunan partisipatif atau Pemberdayaan berbasis partisipasif yang diyakini akan memunculkan rasa memiliki terhadap suatu program mengharuskan bahwa setiap komponen masyarakat ikut terlibat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi program. Dengan demikian paradigma pembangunan yang bersifat sentralistis dan top down harus mulai ditinggalkan. Hasil penelitian LPPM Uninus Bandung (2000) disebutkan bahwa pola pendekatan yang bersifat sentralistik dan Top Down seringkali menimbulkan permasalah-permasalahan seperti (1) Kurang terakomodasinya aspirasi dan kepentingan rakyat serta ketergantungan masyarakat kepada pihak ”luar” dalam pengambilan prakarsa dan perumusan program, (2) Terjadinya ketidakcocokan program (lag of program) antara “pemrakarsa” atau perancang program yang nota bene “orang luar” dengan pelaksana dilapangan (masyarakat), (3) Masyarakat sasaran program hanya sebagai objek, karena keterlibatannya hanya sebagai pelaksana, sehingga mereka seringkali tidak merasa sebagai pemilik program, (4) Karena tidak merasa memiliki program, akibatnya dukungan masyarakat terhadap program seperti ini seringkali semu, demikian pula dengan partisipasi mereka, (5) Tidak adanya proses pembelajaran (learning proccess) dari masyarakat dalam hal perencanaan dan pengorganisasian karena mereka hanya sebagai pelaksana (obyek), dengan demikian kurang menjamin keberlanjutan program karena prakarsa selalu datang dari luar dan keterampilannyapun akhirnya tetap dimiliki oleh orang luar.
Untuk menghindari masalah tersebut, sebenarnya sistem perencanaan pemberdayaan berbasis partisipatif sudah ada, tinggal bagaimana sistem itu dijalankan sinergis dengan kesadaran, komitmen dan kebersamaan mewujudkan partisipasi semua kalangan. Sistem itu dijalankan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Lokakarya Tingkat RW
Ditingkat ini, ada proses bagaimana menghasilkan usulan kegiatan dan rincian pendanaannya, yang dihasilkan dari usulan kebutuhan dan aspirasi masyarakat di masing-masing RT.
b. Lokakarya Desa (Musbangdes/ kelurahan)
Musbang desa/kelurahan adalah kegiatan untuk membahas hasil identifikasi kebutuhan dan aspirasi masyrakat ditingkat RW yang kemudian dibahas dan disepakati bersama di tingkat kelurahan. Dengan menghasilkan pokok-pokok kegiatan sebagai berikut (1) menetapkan prioritas identifikasi potensi dan masalah kunci Desa/Kelurahan, (2) Penetapan rumusan usulan perencanaan pembangunan secara partisipatif, (3) Prioritas usulan kegiatan dan (4) Pemilahan atau katagorisasi kegiatan berdasarkan pada sumber pendanaan yang dibutuhkan (Swadaya, dunia usaha/ Pemda).
c. Lokakarya Kecamatan (UDKP)
Kegiatan ini merupakan upaya mengsinergikan dan mengsinkronisasikan hasil-hasil musbang Desa/Kelurahan dalam satu wilayah kecamatan sehingga menjadi satu usulan yang sistematis, terkoordinasi dan terpadu unutuk di bawa ke rakorbang. Dengan pokok-pokok kegiatan sebagai berikut (1) Identifikasi dan kompilasi hasil-hasil Musbang desa/Kelurahan dan unit kerja kecamatan, (2) Prioritas Usulan Kegiatan pembangunan, dan (3) Pemilahan dan katagorisasi kegiatan berdasarkan sumber pendanaan yang diperlukan (swadaya masyaarakat, dunia usaha, APBD Kabupaten/ Kota, APBD Propinsi dan APBN).
d. Lokakarya Kabupaten/Kota (Rakorbang)
Kegiatan ini dilakukan untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen diantara para pelaku pembangunan (pemerintah daerah, masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha, dan sebagainya) atas program kegiatan dan anggaran tahunan daerah, dimana pengambilan keputusan dilaksanakan secara partisipatif dengan berpedoman pada dokumendokumen perencanaan pembangunan daerah. Dengan pokok-pokok kegiatan sebagai berikut (1) Terjaminnya keterlibatan masyarakat (individual/kelembagaan) dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat kabupaten/kota, (2) Teridentifikasi dan tersepakatinya priorotas program/kegiatan daerah untuktahun mendatang yang memerlukan pembiayaan APBD Kabupaten/ Kota, dan (3)
Teridentifikasinya kebutuhan akan kebijakan dari pemerintah Kabupaten/ Kota, propinsi dan Pusat, (4) Tersepakatinya kegiatankegiatan yang memerlukan pengjkajian lebih lanjut, (5) Tersepakatinya kegiatan-kegiatan yang memerlukan dukungan kebijakan, sumber daya dan pembiayaan yang bersumber dari APBD propinsi, APBN, sector swasta (dunia usaha dan masyarakat, (6) Tersepakatinya prosedur, mekanisme dan pelembagaan pelaksanaan rakorbang, dan (7) Terintegrasinya pendekatan partisipatif dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan daerah.
Dari gambaran dua dimensi pemberdayaan diatas, yaitu yang berkaitan dengan motivasi dan pemberdayaan masyarakat berbasis partisipatif. Maka dalam prosesnya, seorang motivator harus memahami alur pikir pemberdayaan yang dilaksanakan. Kalau merujuk dari proses pemberdayaan menurut Wilson (1996 : 135), maka proses pemberdayaan meliputi beberapa tahapan, yaitu (1) Awakening, suatu proses yang membantu orang mengadakan penelitian terhadap situasi mereka saat ini, pekerjaan dan posisi mereka dalam organisasi. (2) Understanding, suatu proses orang mendapat pemahaman dan persepsi baru yang sudah mereka dapat mengenai diri mereka sendiri, pekerjaan, aspirasi dan keadaan umum, (3) Harnessing, yaitu individu yang telah memperlihatkan ketrampilan dan sifat, harus memutuskan bagaimana mereka dapat menggunakannya bagi pemberdayaan, dan (4) Using, suatu proses penggunaan ketrampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan kerja setiap hari.

Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berkelanjutan

Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Karena prakteknya saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa.

Pendapat dari Cook (1994) menyatakan pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju kearah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungancollective action dan networking yang dikembangkan masyarakat.

Sedangkan Bartle (2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.

Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya pengertian community development dan community empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial”.

Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang.

Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi, sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya. Secara ringkas keterkaitan antara pemberdayaan masyarakat dengan sustainable development.

Pemberdayaan masyarakat terkait erat dengan faktor internal dan eksternal. Tanpa mengecilkan arti dan peranan salah satu faktor, sebenarnya kedua faktor tersebut saling berkontribusi dan mempengaruhi secara sinergis dan dinamis. Meskipun dari beberapa contoh kasus yang disebutkan sebelumnya faktor internal sangat penting sebagai salah satu wujud self-organizing dari masyarakat namun kita juga perlu memberikan perhatian pada faktor eksternalnya.

Seperti yang dilaporkan Deliveri (2004), proses pemberdayaan masyarakat mestinya juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisplin. Tim pendamping ini merupakan salah satu external factor dalam pemberdayaan masyarakat. Peran tim pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara bertahap selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatannnya secara mandiri. Dalam operasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat (PM) akan pelan-pelan dikurangi dan akhirnya berhenti. Peran tim PM sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap mampu oleh masyarakat.

Waktu pemunduran tim PM tergantung kesepakatan bersama yang telah ditetapkan sejak awal program antara tim PM dan warga masyarakat. Berdasar beberapa pengalaman dilaporkan bahwa pemunduran Tim PM dapat dilakukan minimal 3 tahun setelah proses dimulai dengan tahap sosialisasi. Walaupun tim sudah mundur, anggotanya tetap berperan, yaitu sebagai pensehat atau konsultan bila diperlukan oleh masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu tema sentral dalam pembangunan masyarakat seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah dan selangkah dengan paradigma baru pendekatan pembangunan. Paradigma pembangunan lama yang bersifat top-down perlu direorientasikan menuju pendekatan bottom-up yang menempatkan masyarakat atau petani di pedesaan sebagai pusat pembangunan atau oleh Chambers dalam Anholt (2001) sering dikenal dengan semboyan “put the farmers first”.

Menurut Nasikun (2000:27) paradigma pembangunan yang baru tersebut juga harus berprinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan terutama dilakukan atas inisitaif dan dorongan kepentingan-kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat di dalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya; termasuk pemilikan serta penguasaan aset infrastrukturnya sehingga distribusi keuntungan dan manfaat akanlebih adil bagi masyarakat.

Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat adalah program yang disusun sendiri oleh masyarakat, mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin dan kelompok yang terpinggirkan lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat (instansi pemerintah, lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya), serta dilaksanakan secara berkelajutan.

sumber : http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-masyarakat-dan-pembangunan-berkelanjutan.html

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.

Read more at: http://aadesanjaya.blogspot.com/2011/09/pemberdayaan-masyarakat-pengertian.html
Copyright aadesanjaya.blogspot.com
Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.

Read more at: http://aadesanjaya.blogspot.com/2011/09/pemberdayaan-masyarakat-pengertian.html
Copyright aadesanjaya.blogspot.com

Selasa, 24 Januari 2012

BELAJAR BERSAMA ANAK-ANAK GEMPOL JUMOYO MAGELANG

by. Hari S.


"...Selamat pagi adik - adik ?? bagaimana kabarnya pagi ini ??..." Sapaan pertama yang terlontar saat memulai acara pelatihan sehari bersama anak-anak korban lahar dingin di Gempol Jumoyo Magelang.
Pagi itu saya dengan kedua teman dari Sukunan (Gatra dan Azmi) mendapat kesempatan untuk memfasilitasi pelatihan pengelolaan sampah ramah lingkungan dengan peserta anak-anak SD dan SMP. Kegiatan yang diprakarsai oleh Program HRF dengan pelaksana lapangan dari YEU Yogyakarta mencoba membuat sesuatu yang berbeda dalam hal pelatihan. Pada kesempatan ini kami merancang pelatihan tersebut dengan metode bermain untuk belajar. Sejumlah 39 anak berpartisipasi dalam kegiatan ini. Bermain adalah ciri kegiatan untuk anak-anak, sehingga dalam mengawali kegiatan ini anak-anak diajak berdiri dan bermain-main oleh Gatra untuk menarik konsentrasi dan semangat mereka.
Suasana yang tadinya terlihat tegangpun langsung sirna dengan gelak tawa anak-anak yang mulai menikmati permainan dan mengikuti instruksi fasilitator. Permainan selesai dan dilanjutkan dengan pembagian kelompok untuk melakukan pemetaan permasalahan lingkungan yang ada di huntara Jumoyo dan Larangan. Yang menarik dari kegiatan ini adalah kami menyerahkan sepenuhnya kepada anak-anak hal seperti apa yang menurut mereka itu permasalahan lingkungan. Metode yang kami lakukan, setiap kelompok (4 kelompok) dibekali dengan kamera saku dan tugasnya adalah memfoto segala hal yang mereka anggap permasalahan lingkungan.
Dengan waktu 45 menit anak-anak mulai berjalan di setiap lorong blok huntara dan mendokumentasikan apa yang mereka lihat. Kemudian setiap kelompok bercerita mengenai foto yang mereka ambil dan bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut, tentunya versi anak-anak. Hal ini akan memperkuat program pengelolaan sampah yang sudah disosialisasikan kepada orang tua mereka.
Diakhir sesi mereka diajak bermain-main lagi dengan membuat kerajinan daur ulang dari sampah kertas dan botol plastik. Kami membagi menjadi 2 kelompok besar yaitu, anak dibawah kelas 5 SD membuat kerajinan daur ulang kertas menjadi gantungan kunci dan kelompok kelas 5 SD sampai SMP membuat kerajinan dari botol plastik menjadi tempat pensil. Diluar dugaan, perkiraan waktu yang diperkirakan jam 3 sore selesai ternyata meleset. Hingga jam 4 sore kegiatan belum selesai, karena antusias anak-anak mengikuti kegiatan ini. Tetapi kegiatan harus dihentikan karena mereka mempunyai jadwal untuk mengaji sore itu. Ada yang belum selesai sudah dijemput oleh orang tuanya, sehingga kerejinan mereka bawa pulang dan diselesaikan di rumah.
Kegiatan yang cukup menguras tenaga tetapi sangat menyenangkan sehingga tidak terasa capek.
Sampai ketemu lagi teman-teman, lain waktu kita bermain lagi..

Senin, 23 Januari 2012

PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA)


Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah penilaian/pengkajian/penelitiaan keadaan desa secara partisipatif. Maka dari itu, metode PRA adalah cara yang digunakan dalam melakukan pengkajian/penilaian/penelitian untuk memahami keadaa atau kondisi desa/wilayah/lokalitas tertentu dengan melibatkan partisipasi masyarakat.


Robert Chambers adalah orang yang mengembangkan metode PRA, menyatakan bahwa metode dan teknik dalam PRA terus berkembang, sehingga sangat sulit untuk memberikan definisi final tentang PRA. Menurutnya PRA merupakan metode dan pendekatan pembelajaran mengenai kondisi dan kehidupan desa/wilayah/lokalitas dari, dengan dan oleh masyarakat sendiri dengan catatan :

(1) Pengertian belajar, meliputi kegiatan menganalisis, merancang dan bertindak;

(2) PRA lebih cocok disebut metode-metode atau pendekatan-pendekatan (bersifat jamak) daripada metode dan pendekatan (bersifat tunggal); dan

(3) PRA memiliki beberapa teknik yang bisa kita pilih, sifatnya selalu terbuka untuk menerima cara-cara dan metode-metode baru yang dianggap cocok.


Jadi pengertian PRA adalah sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat di suatu desa/wilayah/lokalitas untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan.


PRINSIP-PRINSIP PRA

Prinsip-prinsip dasar Participatory Rural Appraisal (PRA) terdiri dari :

1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan).

Prinsip ini mengutamakan masyarakat yang terabaikan agar memperoleh kesempatan untuk memiliki peran dan mendapat manfaat dalam kegiatan program pembangunan. Keberpihakan ini lebih pada upaya untuk mencapai keseimbangan perlakuan terhadap berbagai golongan yang terdapat di suatu masyarakat, mengutamakan golongan paling miskin agar kehidupannya meningkat.


2. Prinsip pemberdayaan (penguatan) masyarakat

Pendekatan PRA bermuatan peningkatan kemampuan masyarakat, kemampuan itu ditingkatkan dalam proses pengkajian keadaan, pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan, sampai pada pemberian penilaian dan koreksi kepada kegiatan yang berlangsung.

3. Prinsip masyarakat sebagai pelaku dan orang luar sebagai fasilitator

PRA menempatkan masyarakat sebagai pusat dari kegiatan pembangunan. Orang luar juga harus menyadari peranannya sebagai fasilitator. Fasilitator perlu memiliki sikap rendah hati serta kesediannya belajar dari masyarakat dan menempatkannya sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Pada tahap awal peranan orang luar lebih besar, namun seiring dengan berjalannya waktu diusahakan peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan PRA para masyarakat itu sendiri.


4. Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan

Salah satu prinsip dasarnya adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah, sehingga harusnya dilihat bahwa pengalaman dan pengetahuan masyarakat serta pengetahuan orang luar saling melengkapi dan sama bernilainya, dan bahwa proses PRA merupakan ajang komunikasi antara kedua sistem pengetahuan itu agar melahirkan sesuatu yang lebih baik.


5. Prinsip Santai dan informal

Kegiatan PRA diselenggarakan dalam suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa dan informal. Situasi ini akan menimbulkan hubungan akrab, karena orang luar akan berproses masuk sebagai anggota masyarakat, bukan sebagai tamu asing yang oleh masyarakat harus disambut secara resmi.


6. Prinsip Triangulasi

Salah satu kegiatan PRA adalah usaha mengumpulkan dan menganalisis data atau informasi secara sistematis bersama masyarakat. Untuk mendapatkan informasi yang kedalamnnya bisa diandalkan kita dapat menggunakan Triangulasi yang merupakan bentuk pemeriksaan dan pemeriksaan ulang (check and recheck) informasi. Triangulasi dilakukan melalui penganekaragaman keanggotaan tim (keragaman disiplin ilmu atau pengalaman), penganekaragaman sumber informasi (keragaman latar belakang golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis kelamin) dan keragaman teknik.


7. Prinsip mengoptimalkan hasil

Prinsip mengoptimalkan atau memperoleh hasil informasi yang tepat guna menurut metode PRA adalah :

- Lebih baik kita "tidak tahu apa yang tidak perlu kita ketahui" (ketahui secukupnya saja)
- Lebih baik kita "tidak tahu apakah informasi itu bisa disebut benar seratus persen, tetap diperkirakan bahwa informasi itu cenderung mendekati kebenaran" (daripada kita tahu sama sekali)

8. Prinsip orientasi praktis

PRA berorientasi praktis yaitu pengembangan kegiatan. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang sesuai dan memadai, agar program yang dikembangkan bisa memecahkan masalah dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Perlu diketahui bahwa PRA hanyalah sebagai alat atau metode yang dimanfaatkan untuk mengoptimalkan program-program yang dikembangkan bersama masyarakat.


9. Prinsip keberlanjutan dan selang waktu

Metode PRA bukanlah kegiatan paket yang selesai setelah kegiatan penggalian informasi dianggap cukup dan orang luar yang memfasilitasi kegiatan keluar dari desa. PRA merupakan metode yang harus dijiwai dan dihayati oleh lembaga dan para pelaksana lapangan, agar problem yang mereka akan kembangkan secara terus menerus berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar PRA yang mencoba menggerakkan potensi masyarakat.


10. Prinsip belajar dari kesalahan

Terjadinya kesalahan dalam kegiatan PRA adalah suatu yang wajar, yang terpenting bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, melainkan penerapan yang sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Kita belajar dari kekurangan-kekurangan atau kesalahan yang terjadi, agar pada kegiatan berikutnya menjadi lebih baik.


11. Prinsip terbuka

Prinsip terbuka menganggap PRA sebagai metode dan perangkat teknik yang belum selesai, sempurna dan pasti benar. Diharapkan bahwa teknik tersebut senantiasa bisa dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Sumbangan dari mereka yang menerapkan dan menjalankannya di lapangan untuk memperbaiki konsep, pemikiran maupun merancang teknik baru yang akan sangat berguna dalam mengembangkan metode PRA.


Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/1947728-participatory-rural-appraisal-pra/#ixzz1kIGJSokm